Kisah Sedih di Hari Jumat

I got a bad day yesterday. Setelah mengumpulkan tenaga dalam, akhirnya aku lonjongkan tekad buat nulisin kenangan pahit ntu.

Kita mulai dari Kamis malam. Perasaan terombang-ambing menjelang – can u believe it – 2 ulangan sekaligus, Kimia dan Math, besok. Belajar kimia sih masih punya birahi, lha pas waktunya ngelirik buku math… duh, nggak ‘mengundang’ banget deyh!
Jadi inget salah satu episode Spongebob. Critanya, si Spons itu lagi dapet pR. Tapi, dia selalu punya kerjaan lain yang “lebih penting”, as long as he (or she? Hermaprodit ya?) can put off the homework.
Yep, that’s exactly what I thought : anything but studying deh. Mulai mencet” remote, HP, ampe hidung orang se-Indonesia raya, rasanya semua lebih halal ketimbang belajar. Alhasil, aku baru belajar beberapa mJustify Fullenit sebelum bobo'.
Kayaknya ini udah firasat deh. Ckakak, ngaku males aja kok susah banget!

Then, hari bersejarah itupun tiba. Jumat, 24 Agustus 2007.
Ulangan math jam ke 3-4 aku jalani dengan bersahaja. Waktu yang disediakan 1 jam. Gurunya bilang nggak boleh telat ngumpulin. And if he says so, you better do it. Dia kan punya bawaan DNA dari Hitler.
Ya udah, begitu waktu habis, aku cepet” ngumpulin lembar soal plus jawaban tanpa peduli kalau worksheet belum selesai dibatik . Tapi, masalah datang bukan dari jawabanku yang nggak berkualitas. Guess what!
It’s because… aku nggak nulis namaku di lembar soal..!!! Gosh, aku bahkan nggak tau kalau dia nyuruh nulis identitas di lembar soal. Aku pikir tuh soal harus dijaga kebersihannya biar bisa dikembaliin dengan layak.
Singkat cerita, dia nemuin lembar soal yang polos tanpa nama. Setelah ngebuang tuh kertas dengan sadis, dia bilang, “Bagi yang merasa nggak memenuhi ketentuan, silakan keluar! Daripada menghambat teman” yang lain.”
Waduh, aku tau banget, that’s me! Nervous dan takut, aku ngeremes” tangan temen semejaku (thanx TW, kamu udah merelakan tangan buat kuporak-porandakan!). Herannya, dia malah kelihatan lebih tertekan daripada aku. Hehehe.
Setelah minta doa restu ketua kelas, yang kebetulan duduk di depanku, aku berdiri dan jalan keluar. Daripada di dalam kelas ngerasa hina-dina, ya mending menyerahkan diri aja (T.T)
Di luar aku ketemu 1 temen senasib-sepenanggungan yang udah dikeluarin lebih dulu. Yea, kita duduk” di teras sambil ngrumpi” geto, itung” dapat istirahat ekstra. Tapi, nggak bisa dielakkan, rasanya gemes banget, Bo! Bawaannya pengen bakar sekolah aja. Secara ya, Utin gitu lhoh... masa seyh dikeluarin dari kelas. So not me! (hehehe, sok alim banget)

Yang pertama kepikiran waktu itu : Oh Mami, oh Papi, forgive me!
Yang ketiga : Gila, gue kan belom kawin! (wex, kayak mau mati ajah).
Udah gitu, setelah jamnya abis, si Hitler keluar sambil nyindir, “Enak kan di luar?”
Idih, kok tau seyh!

Tantangan terberat adalah saat kembali ke peradaban. I don’t like the looks those people gave me. Pathetic! Ngerjain ulangan kimia juga jadi blank.
I was desperate. But somehow, I feel this incident will make my high-school-moment much more memorable. Someday when I look back at this age, I will laugh at myself.
Emang seh, kalau udah sekali dikeluarin ma tuh Hitler, jam matematika berikutnya bakal lebih tough buat dijalani. Mungkin besok lagi dia bakal nyuruh aku ngisep” gas beracun. Well, I don’t know. Aku tidak mau meminjam kekhawatiran dari hari esok. Just pray for me, folks!