Di Manakah Damai?

Pemberitaan belakangan ini diramaikan oleh beragam pertikaian.

Pertama, panasnya pilpres di Indonesia yang telah dimulai sejak masa kampanye. Masing-masing kubu saling melemparkan black campaign dan negative campaign terhadap seteru. Lebih mudah bagi masyarakat untuk "tidak memilih capres karena sisi negatifnya" ketimbang "memilih capres karena sisi positifnya". Memang sejak dulu berita-berita negatif lebih gampang dijual.

Suasana makin memanas ketika masing-masing kubu mengklaim sebagai presiden terpilih versi quick count. Lembaga-lembaga survei yang diharap dapat ikut mengawal proses demokrasi justru mengikis wibawa dan kredibilitas KPU sebagai lembaga resmi negara. 

Kedua, konflik Gaza yang menjadi perhatian internasional. Israel selalu digambarkan sebagai "the bad guy", sedangkan Palestina adalah korban tak berdosa. BBC yang menurunkan berita dengan perspektif lain dituding sebagai antek Yahudi. Padahal sahamnya sebagian besar dimiliki oleh orang Arab. 

Namun, di luar sana gambar-gambar anak kecil yang berlumuran darah telah ditebar di jejaring sosial untuk memicu rasa marah penduduk dunia. Simpatisan Palestina aktif mengajak yang lain untuk memboikot produk-produk yang ditengarai milik Yahudi. Mungkin mereka lupa bahwa banyak petani dan peternak lokal yang hidup dengan menyuplai raw material bagi pabrik-pabrik itu. Sungguh, saya menyesalkan banyaknya korban yang jatuh di Palestina. Oleh karena itu, saya berdoa supaya mereka dapat hidup berdampingan dalam damai. 

Dari kedua perseteruan di atas, saya tak ingin menunjuk pihak mana yang benar dan mana yang salah. Ketika saya mulai memihak, saya merasa ditegur oleh sebuah tulisan di Huffington Post.
"I wonder, what is the real purpose of your support? Why do you write letters and argue with friends and take to the streets? Do you actually care for the well-being of the people involved or do you simply wish to be on a team?
Your mix of high moral outrage and extreme self-centeredness is a special brand of hypocrisy."