Wah, judulnya terlihat provokatif sekali ya. Haha. Menjelang Natal, diskusi tahunan mengenai boleh tidaknya umat muslim mengucapkan Selamat Natal kepada umat Nasrani kembali panas diperbincangkan. Selama ini saya kerap menghindari debat kusir mengenai agama karena ujung-ujungnya pasti panas, mengesampingkan logika, dan asal ngotot. Tipis sekali perbedaan antara orang yang benar-benar tahu dengan mereka yang sok tahu. Tapi pada akhirnya saya gatel juga pengen menulis opini saya terkait isu ini.
Saya kurang paham dasar yang digunakan oleh sejumlah ulama untuk melarang umatnya menyampaikan simpati kepada mereka yang merayakan Natal. Apakah mereka menganggap bahwa ucapan Selamat Natal sama dengan kristenisasi umat muslim?
Duh, logika seperti itu perlu ditelaah lagi. Kalau memang memberi selamat membuat seseorang menjadi sama dengan yang diberi ucapan selamat, maka tindakan sederhana ini dapat dengan mudah mengubah jati diri kita. Saya ambil contoh ya.
Kalau saya datang ke pesta nikahan temen, terus ngasih ucapan selamat atas pernikahannya, apa saya otomatis jadi pengantin juga? Padahal pacar saja ga punyaaa... *malah curcol*.
Kalau bisa gitu, saya mau tur ke acara wisuda S2 berbagai jurusan, kasih ucapan selamat, dan taarraaaa... saya punya koleksi titel S2 tanpa perlu ambil kuliah master.
Ah, seandainya dunia sesimpel itu ya... :))
Saya pikir tidak perlulah kita terlalu sensitif dengan isu-isu keagamaan. Jangan merasa insecure terhadap mereka yang bukan kelompok kita. Sebenarnya kitab yang dijadikan pegangan agama-agama samawi kan turunan dari kitab Taurat. Umat Yahudi, Nasrani, dan Muslim mengenal nabi-nabi yang sama, seperti Adam, Musa, Nuh, Abraham/Ibrahim, dan seterusnya. Nah, karena kita menyembah Tuhan yang sama seperti yang disembah nabi-nabi itu, maka sesungguhnya umat Abrahamic menyembah satu Tuhan saja. Tuhan Yang Maha Esa. Mengatakan bahwa Tuhan tiap agama itu berbeda sama artinya dengan mendeklarasikan diri sebagai polytheist.
Umat beragama, menurut saya, ibarat murid-murid yang sedang mengerjakan soal ujian. Kita bisa saja mendiskusikan cara kita masing-masing. Langkah penyelesaian untuk soal yang sama bisa saja berlainan, karena kita belajar dari buku yang berbeda dengan tentor yang beragam cara penyampaiannya. Namun pihak yang pada akhirnya berhak memberi nilai adalah penyelenggara ujian, dalam hal ini Tuhan sendiri.
Kenapa tiap agama berebut mengklaim bahwa dirinya yang paling mengenal Tuhan?
Bukankah Natal adalah peringatan kelahiran Isa Al Masih? Al-Quran juga mengenal Nabi Isa dan keajaiban-keajaiban yang dibuat-Nya. Mengapa umat yang memperingati kelahiran Nabi Isa diperlakukan layaknya penderita kusta? Tidakkah umat muslim turut bahagia seorang nabi pernah lahir di antara manusia?
Maka sebelum menghujat agama lain, seseorang harus memahami dengan sungguh isi kitabnya. Jangan-jangan bukannya membela agama, justru menentang ajaran agamanya sendiri.
read more
Saya kurang paham dasar yang digunakan oleh sejumlah ulama untuk melarang umatnya menyampaikan simpati kepada mereka yang merayakan Natal. Apakah mereka menganggap bahwa ucapan Selamat Natal sama dengan kristenisasi umat muslim?
Duh, logika seperti itu perlu ditelaah lagi. Kalau memang memberi selamat membuat seseorang menjadi sama dengan yang diberi ucapan selamat, maka tindakan sederhana ini dapat dengan mudah mengubah jati diri kita. Saya ambil contoh ya.
Kalau saya datang ke pesta nikahan temen, terus ngasih ucapan selamat atas pernikahannya, apa saya otomatis jadi pengantin juga? Padahal pacar saja ga punyaaa... *malah curcol*.
Kalau bisa gitu, saya mau tur ke acara wisuda S2 berbagai jurusan, kasih ucapan selamat, dan taarraaaa... saya punya koleksi titel S2 tanpa perlu ambil kuliah master.
Ah, seandainya dunia sesimpel itu ya... :))
Saya pikir tidak perlulah kita terlalu sensitif dengan isu-isu keagamaan. Jangan merasa insecure terhadap mereka yang bukan kelompok kita. Sebenarnya kitab yang dijadikan pegangan agama-agama samawi kan turunan dari kitab Taurat. Umat Yahudi, Nasrani, dan Muslim mengenal nabi-nabi yang sama, seperti Adam, Musa, Nuh, Abraham/Ibrahim, dan seterusnya. Nah, karena kita menyembah Tuhan yang sama seperti yang disembah nabi-nabi itu, maka sesungguhnya umat Abrahamic menyembah satu Tuhan saja. Tuhan Yang Maha Esa. Mengatakan bahwa Tuhan tiap agama itu berbeda sama artinya dengan mendeklarasikan diri sebagai polytheist.
Umat beragama, menurut saya, ibarat murid-murid yang sedang mengerjakan soal ujian. Kita bisa saja mendiskusikan cara kita masing-masing. Langkah penyelesaian untuk soal yang sama bisa saja berlainan, karena kita belajar dari buku yang berbeda dengan tentor yang beragam cara penyampaiannya. Namun pihak yang pada akhirnya berhak memberi nilai adalah penyelenggara ujian, dalam hal ini Tuhan sendiri.
Kenapa tiap agama berebut mengklaim bahwa dirinya yang paling mengenal Tuhan?
Bukankah Natal adalah peringatan kelahiran Isa Al Masih? Al-Quran juga mengenal Nabi Isa dan keajaiban-keajaiban yang dibuat-Nya. Mengapa umat yang memperingati kelahiran Nabi Isa diperlakukan layaknya penderita kusta? Tidakkah umat muslim turut bahagia seorang nabi pernah lahir di antara manusia?
Maka sebelum menghujat agama lain, seseorang harus memahami dengan sungguh isi kitabnya. Jangan-jangan bukannya membela agama, justru menentang ajaran agamanya sendiri.